Kusni Kasdut, Dari Pejuang Kemerdekaan Hingga Menjadi Perampok Legendaris Indonesia

Kusni Kasdut (meninggal pada 16 Februari 1980) adalah seorang penjahat Indonesia yang dikenal karena melakukan perampokan 11 permata di Museum Gajah pada 31 Mei 1961. Bernama asli Waluyo, ia lahir sebagai pemuda miskin, anak seorang petani miskin di Blitar, Jawa Timur. Pada masa revolusi kemerdekaan ia tergabung tak resmi sebagai laskar rakyat yang bahu membahu bersama TNI.

Ketika revolusi berakhir, Kusni Kasdut justru dibuat bingung. Kekacauan membuatnya bisa beristrikan seorang gadis Indo dari keluarga menengah, yang kemudian berganti nama menjadi Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih. Seorang istri yang ia cintai, ia banggakan, dan karena itu melahirkan tekad untuk menyenangkannya dengan kehidupan yang layak. Sementara sejak lahir, Kusni senantiasa bergelut dengan kemiskinan.

foto:merdeka.com

Kusni terus mencari pekerjaan. Namun, entah karena ia berharap terlalu tinggi, atau apa, yang ia terima tak lain serangkaian kegagalan. Berbekal pengalaman semasa revolusi ’45, ia pun mencoba mendaftar masuk TNI. Sayang, ia kembali ditolak. Tak hanya karena sebelumnya pun Kusni tak resmi terdaftar dalam kesatuan, ia pun cacat secara fisik. Kaki kirinya sedikit timpang terserempet tembakan yang ia peroleh semasa perang.

Ia kemudian berteman dengan Bir Ali. Ali seorang laki-laki asal Cikini kecil (sekarang wilayah sekitar Hotel Sofyan), mantan suami penyanyi Ellya Khadam. Nama lengkapnya Muhammad Ali, dijuluki Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir sebelum melakukan aksi. Kelak, Muhammad Ali menjalani hukuman mati pada 16 Februari 1980 karena membunuh Ali Badjened, seorang Arab kaya raya, saat merampok rumahnya.

Saat Kusni masuk, geng itu sudah beranggotakan Ali, Usman, Mulyadi dan Abu Bakar. Ketiganya memberikan posisi pemimpin karena melihat bakat memimpin yang Kusni Kasdut miliki. Pelan tapi pasti, satu persatu kejahatan akhirnya dirasakan Kusni sebagai buah manis yang membuatnya ketagihan. Bahkan jeweran dari seorang yang dihormatinya, Subagio, seniornya semasa revolusi, tak mempan.

Parahnya, pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi membuat Kusni memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan. Karena itu, untuk menghindari penangkapan yang berujung penjara, ia rela membunuh korbannya bila dirasa terpaksa. Kusni, kemudian seolah monster haus darah.

Berbekal sepucuk pistol, tahun 1960-an, Kusdi bersama Bir Ali merampok dan membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri, Kebon Sirih. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan Ali dari atas jeep. Perampokan itu pada masa itu sangat menggegerkan.

Berselang satu tahun, pada 31 Mei 1961, Jakarta kembali gempar. Tak lain karena Museum Nasional Indonesia (Gedung Gajah) dirampok gerombolan Kusni Kasdut. Ibarat film, Kusni yang menggunakan jeep dan mengenakan seragam polisi, menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Dalam aksi nekat itu ia membawa lari 11 butir permata koleksi museum. Segera Kusni Kasdut jadi buronan terkenal.

Sekian tahun buron, Kusni Kasdut tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang. Petugas pegadaian curiga karena ukurannya yang tidak lazim. Akhirnya ia ditangkap, dijebloskan ke penjara dan divionis mati atas rangkaian kejahatannya.

Pada masanya, Kusni adalah penjahat spesialis barang antik. Kisahnya sebagai sosok penjahat berdarah dingin ternyata tidak hanya dikenang oleh para korban atau keluarga korban. Ia juga sempat dijuluki Robin Hood Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi-bagikan kepada kaum miskin. Bahkan sekitar tahun 1979, sebuah media memuat cerita bersambung berjudul “Kusni Kasdut”. Cerita yang mengisahkan sepaknya tersebut sempat menjadi ide lagu God Bless, “Selamat Pagi Indonesia” di album Cermin. Lirik lagu itu ditulis Theodore KS, seorang wartawan musik.

Di hari-hari terakhir hidupnya, Kusni bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan. Itu karena perkenalannya di penjara dengan seorang pemuka agama Katolik. Ia pun memutuskan menjadi pengikut setia, dan dibaptis dengan nama Ignatius Waluyo.

Sebelum dieksekusi mati, beberapa hal yang diminta Kusni dipenuhi. Ia menikmati sembilan jam terakhirnya di ruang kebaktian Katolik LP Kalisosok, dikelilingi anggota keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Kusni juga menikmati jamuan makan terakhir dengan lauk capcai, mie dan ayam goreng.     /wikipedia

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama